Al-Khidir adalah hamba yang soleh dan disebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Kahfi, iaitu sebagai teman Nabi Musa AS, di mana Nabi Musa belajar kepadanya. Al-Khidir menasihatkan kepadanya agar bersabar. Maka Musa mendengarkanya.
Al-Khidir berkata
“Bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
Al-Khidir adalah seorang hamba yang diberi rahmat oleh Allah dan ilmu dari sisi-Nya. Musa terus berjalan bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melubangi perahu. Maka Musa berkata,
“Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?”
Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.
Musa merasa hairan atas perbuatannya, hingga Al-Khidir menerangkan kepadanya sebab yang munasabah dari perbuatan yang dilakukan itu. Pada akhir pembicaraannya,
Al-Khidir berkata,
“Bukanlah aku melakukan itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya.”
Maksudnya, semua perbuatan itu hanyalah kerana mengikut kehendak Allah SWT.
Sebagian orang berkata tentang Al-Khidir, “Ia hidup sesudah Musa hingga zaman Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad SAW, ia sekarang masih hidup, dan akan hidup hingga Kiamat.” Orang-orang menulis kisah-kisah, riwayat-riwayat dan dongeng-dongeng bahwa Al-Khidir menjumpainya dan memakaikan kirqah (pakaian) kepada beliau dan memberi pesan kepadanya.
Semuanya sama sekali tidak mendapat kebenaran yang mengatakan bahwa Al-Khidir masih hidup, sebagaimana anggapan sementara orang. Tetapi disebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur’an, sunah, akal dan ijma diantara para ulama dari umat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada.
Cukup dengan mengutip keterangan dari kitab Al-Manaarul Muniif fil Haditsish Shahih wa adh-Dha’if karangan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab itu ciri-ciri dari hadis maudlu, yang tidak diterima dalam agama. Diantara cirinya ialah “hadis-hadis yang menceritakan tentang Al-Khidir dan kehidupannya.” Semuanya adalah dusta. Tidak satu pun hadis yang shahih. Di antara hadis maudlu itu ialah hadis yang berbunyi, “Bahwa Rasulullah SAW sedang berada di masjid, ketika itu beliau mendengar pembicaraan dari arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah Al-Khidir.”
Juga hadis, “Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun.” Dan hadis, “Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah.” Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa ia masih hidup. Maka beliau menjawab “Tidaklah ada yang memasukkan paham ini kepada orang-orang, kecuali setan.”
Imam Bukhari ditanya tentang Al-Khidir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka ia menjawab, “Bagaimana hal itu terjadi?”
Nabi saw telah bersabda,
“Tidaklah akan hidup sampai seratus tahun lagi bagi orang-orang yang berada di muka bumi ini.” (HR Bukhari-Muslim).
Banyak imam lainnya yang ketika ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab dengan menggunakan Alquran sebagai dalil:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?” (QS. Al-Anbiyaa’: 34).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab, “Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah ia wajib mendatangi Nabi SAW dan berjihad bersamanya, serta belajar darinya.” Jika Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal itu ditolak Alquranul Karim dan sunah yang suci. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia datang kepada Nabi SAW. Nabi SAW telah bersabda, “Demi Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku.” (HR Ahmad).
Jika Al-Khidir seorang Nabi, maka ia tidak lebih utama daripada Musa SAW. Dan jika seorang wali, tidaklah ia lebih utama daripada Abu Bakar RA. Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga kini. Sebagaimana anggapan orang-orang di padang luas, gurun dan gunung-gunung? Apakah faedahnya syar’iyah maupun akliah di balik ini?
Sesungguhnya orang-orang selalu menyukai cerita-cerita ajaib dan dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan mereka, sedangkan hasil dari imajinasinya, mereka gunakan sebagai baju keagamaan. Cerita ini disebarkan diantara sebagian orang awam dan mereka menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari agama. Hikayat-hikayat yang diceritakan tentang Al-Khidir hanyalah rekayasa manusia dan tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu.
Kisah Nabi Khidir AS bersama Nabi Musa AS ini diceritakan Allah di dalam Surat Al-Kahfi ayat 65-82.
- Surah Al-Kahfi : 65
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami - Surah Al-Kahfi : 66
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” - Surah Al-Kahfi : 67
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. - Surah Al-Kahfi : 68
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” - Surah Al-Kahfi : 69
Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” - Surah Al-Kahfi : 70
Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” - Surah Al-Kahfi : 71
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. - Surah Al-Kahfi : 72
Dia (Khidir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” - Surah Al-Kahfi : 73
Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” - Surah Al-Kahfi : 74
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” - Surah Al-Kahfi : 75
Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” - Surah Al-Kahfi : 76
Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” - Surah Al-Kahfi : 77
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” - Surah Al-Kahfi : 78
Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. - Surah Al-Kahfi : 79
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. - Surah Al-Kahfi : 80
Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. - Surah Al-Kahfi : 81
Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). - Surah Al-Kahfi : 82
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.
Adapun mengenai pertanyaan, apakah ia seorang Nabi atau wali? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih tepat Al-Khidir adalah seorang Nabi, sebagaimana tercantum pada ayat yang mulia dari Surat Al-Kahfi, “… dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri…” (QS. Al-Kahfi: 82). Perkataan itu adalah dalil bahwa ia melakukan itu berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya. Lebih tepatnya Al-Khidir adalah seorang Nabi bukan wali.